(1)
Para jendral marah-marah
Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku yang menonton. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku. Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya, Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata ke luar dari mulutnya: ”Namamu di televisi .....” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.
Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. Seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil.
Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali kalimat itu meluncur. ”Namamu di televisi....” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana kekejaman kemanusiaan itu dari pada aku.
(2)
aku diburu pemerintahku sendiri
layaknya aku ini penderita penyakit berbahaya
aku sekarang buron
tapi jadi buron pemerintah yang lalim
bukanlah cacat
pun seandainya aku dijebloskan
ke dalam penjaranya
aku sekarang terlentang
di belakang bak truk
yang melaju kencang
berbantal tas
dan punggung tangan
kuhisap dalam-dalam
segarnya udara malam
langit amat jernih
oleh jutaan bintang
sungguh
baru malam ini
begitu merdeka paru-paruku
malam sangat jernih
sejernih pikiranku
walau penguasa hendak mengeruhkan
tapi siapa mampu mengusik
ketenangan bintang-bintang?
(3)
Buat L.Ch & A.B.
darahku mengalir hangat lagi
setelah puluhan jam
sendi-sendi tulangku beku
kurang gerak
badanku panas lagi
setelah nasi sepiring
sambel kecap dan telur goreng
tandas bersama tegukan air
dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan senyum manismu
kebisuan berhari-hari
kita pecahkan pagi itu
dengan salam tangan
pertanyaan
dan kabar-kabar hangat
pagi itu
budimu menjadi api
tapi aku harus pergi lagi
mungkin tahun depan
atau entah kapan
akan kuketuk lagi
daun pintumu
bukan sebagai buron
(4)
Kado untuk Pengantin Baru
pengantin baru
ini ada kado untukmu
seorang penyair
yang diburu-buru
maaf aku mengganggu
malam bulan madumu
aku minta kamar satu
untuk membaringkan badanku
pengantin baru
ini datang lagi tamu
seorang penyair
yang dikejar-kejar serdadu
memang tak ada kenikmatan
di negri tanpa kemerdekaan
selamanya tak akan ada kemerdekaan
jika berbeda pendapat menjadi hantu
pengantin baru
ini ada kado untukmu
seorang penyair yang dikejar-kejar serdadu
(5)
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajari anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rejim sekarang ini
memperkenalkan kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah buku pelajaran
yang tak pernah ditulis!
(6)
Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
”karena bapakku orang berani”
kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri
masuk rumah kita
(7)
Pepatah Buron
penindasan adalah guru paling jujur
bagi yang mengalami
lihatlah tindakan penguasa
bukan retorika bukan pidatonya
kawan sejati adalah kawan yang masih berani
tertawa bersama
walau dalam kepungan bahaya
(8)
kekuasaan yang sewenang-wenang
membuat rakyat selalu berjaga-jaga
dan tak bisa tidur tenang
sampai mereka sendiri lupa
batas usianya tiba
dan dalam diamnya
rakyat ternyata bekerja
menyiapkan liang kuburnya
lalu mereka bersorak
ini kami siapkan untukmu tiran!
penguasa yang lalim
ketika mati tak ditangisi rakyatnya
sungguh memilukan
kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan
(9)
ujung rambut ujung kuku
gendang telinga
dan selaput bola mataku
tidak mungkin lupakan kamu
bilur di punggung
nyeri di tulang berhari-hari
darah di helai rambut ujung kuku
dendang telinga
dan selaput bola mataku
telah mengotori namamu
nyeri di tulang
berhari-hari
bilur di punggung
karena sabetan
telah mencoreng namamu
kau tak kan bisa mencuci namamu
sekalipun 1000 mobil pemadam kebakaran
kau kerahkan
kau tak kan bisa mencuci tanganmu
sekalipun 1000 pengeras suara
melipatgandakan pidatomu
suara rakyat adalah suara Tuhan
dan kalian tak bisa membungkam Tuhan
sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru
(10)
Jakarta simpang siur
ormas-ormas tiarap
tiap dengar berita
pasti ada aktivis ditangkap
telepon-telepon disadap
koran-koran disumbat
rakyat was-was dan pengap
diam-diam orang cari informasi
dari radio luar negeri
jangan percaya
pada berita mass media cetak
dan elektronika asing!
Penguasa berteriak-teriak setiap hari
Nasionalismenya mirip Nazi
(11)
berhari-hari – ratusan jam – ratusan kilometer – puluhan kota – bis – colt – truk – angkutan – asap rokok – uap sampah – tengik wc – knalpot terminal – embun subuh – baca koran – omongan penguasa – nonton tivi – omongan penipu – presiden marah-marah – jendral-jendral marah-marah – intelektual bayaran ikut-ikutan – sekretariat organisasi aktivis diobrak-abrik – penculikan – penggrebegan – pengejaran – pembenaran dibikin kemudian – semua benar karena semua diam
(12)
apa penguasa kira
rakyat hidup di hari ini saja
apa penguasa kira
ingatan bisa dikubur
dan dibendung dengan moncong tank
apa penguasa kira
selamanya ia berkuasa
tidak!
tuntutan kita akan lebih panjang umur
ketimbang usia penguasa
derita rakyat selalu lebih tua
walau penguasa baru naik
mengganti penguasa lama
umur derita rakyat
panjangnya sepanjang umur peradaban
umur penguasa mana
pernah melebihi tuanya umur batu akik
yang dimuntahkan ledakan gunung berapi?
ingatan rakyat serupa bangunan candi
kekejaman penguasa setiap jaman
terbaca di setiap sudut dan sisi
yang menjulang tinggi
(13)
ketika datang malam
aku menjadi gelap
ketika pagi datang
aku menjadi terang
aku rakyatmu
hidup di delapan penjuru
kau tak bisa menangkapku
karena kau tak mengenalku
kau tak bisa mendengarkan aku
karena kau terus berbicara
berbicara dan berbicara
dengan mulut senapan
pembantaian- pembantaian
dan pembantaian
mayat-mayat bergelimpangan
mayat-mayat disembunyikan
kau tak bisa menguburkan aku
kau tak bisa menyembuhkan lukaku
karena kau tak kenal aku
karena kau terus berbicara
berbicara dan berbicara
dengan tembakan dan ancaman
dan penjara
(14)
habis cemasku
kau gilas
habis takutku
kau tindas
kini padaku tinggal
tenaga mendidih!
segala telah kau rampas
kau paksa aku tetap bodoh
miskin dan nelan ampas
kini padaku tinggal tenaga
mengepal-ngepal
di jalan-jalan
habis cemasku
kau gilas
habis takutku
kau tindas
aku masih tetap waras!
(15)
ayo kita tebakan!
dia raja
tapi tanpa mahkota
punya pabrik punya istana
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia kaya
keluarganya punya saham di mana-mana
tapi negaranya rangking tiga
paling korup di dunia
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia tua
tapi ingin tetap berkuasa
tak boleh ada calon lain
selain dia
kalau marah
mengarahkan angkatan bersenjata
rakyat kecil yang tak bersalah ditembak jidatnya
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia sakti
tapi pasti mati
meski seakan tak bisa mati
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
siapa aku?
aku adalah diktator
yang tak bisa tidur nyenyak!
(16)
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
intel-intel yang bergaji kecil
pasti jengkel dengan yang memerintahmu
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
agar aku bisa istirahat
agar tenagaku pulih
setelah berhari-hari lelah
agar aku tetap segar
dan menang
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
bunyi kodok dan desir angin
membikin pelupuk mataku membesar
aku ngantuk dan ingin tidur
biarlah para serdadu di ibukota
berjaga-jaga dengan senapan M-16nya
biarlah penguasa sibuk sendiri
dengan ketakutannya
karena telah mereka taruh sendiri
bom waktu di mana-mana
mereka menciptakan musuh
dan menembaknya sendiri
mereka menciptakan kerusuhan
demi mengamankannya sendiri
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
malam yang gelap ini untukku
malam yang gelap ini selimutku
selamat tidur tanah airku
selamat tidur anak-istriku
saatnya akan tiba akan tiba
bagi merdeka
untuk semua
(17)
bernafas panjanglah
jangan ditelan kalut
bernafas panjanglah
jangan dimakan takut
bernafas panjanglah
jangan berlarut-larut
bernafas panjanglah
jangan surut
bernafas panjanglah
walau gelap
bernafas panjanglah
walau pengap
bernafas panjanglah kau, bernafas panjanglah para korban
bernafas panjanglah aku
bernafas panjanglah kalian
bernafas panjanglah semua
bernafas panjanglah
melihat tank-tank dikerahkan
bernafas panjanglah
melihat tentara mondar-mandir
berselendang M-16
bernafas panjanglah
mendengar para aktivis ditangkapi
bernafas panjanglah
para kambing hitam yang diadili
bernafas panjanglah
dengan pemutar-balikan ini
mereka ingin sejarah dibaca bersih
bagaimana mungkin
jika mereka menulis dengan sobekan daging
laras senapan
dan kubangan darah
baca kembali semuanya
dan bernafas panjanglah
bernafas panjanglah akal
bernafas panjanglah hati
bangun dan bernafas panjanglah!
(18)
di ruang ini yang bernafas cuma aku
cecak dan serangga
air menetes rutin dari kran ke bak mandi
semakin dekat aku dengan detak jantungku
dingin ubin, lubang kunci, pintu tertutup, kurang cahaya
kini bagian hidupku sehari-hari
di sini bergema puisi di antara garis lurus tembok
lengkung meja kursi dan rumah sepi
puisi yang ditajamkan
pukulan dan aniaya
tangan besi penguasa
(19)
bulan agustus sudah tiba
penduduk ramai-ramai pasang bendera
tapi aku hanya lihat yang di seberang rumah saja
kuintip dari lubang kunci
sebab aku dikejar-kejar penguasa
sudah puluhan hari aku tak melihat angkasa
kehidupan di sekelilingku kusimak
dari datak-deru dan tawanya
aku tak bisa lihat wujud dan wajahnya
aku ditahan bukan dipenjara
aku disel bukan dibui
sebab kehidupan sehari-hari
adalah penjara nyata rakyat negeri ini
(20)
sebuah bank
memasang iklan
ukuran setengah halaman koran, teriaknya: Dirgahayu Republik Indonesia 51 th
dengan huruf kapital
iklan itu juga memekik-mekik: MERDEKA MERDEKA MERDEKA
sementara itu ratusan aktivis
di daerah dan di ibukota ditangkapi
sebuah iklan
ukuran setengah halaman koran
menggusur kenyataan yang sewenang-wenang
yang seharusnya diberitakan
MERDEKA MERDEKA MERDEKA
siapa yang merdeka?
(21)
di atas rumah ada burung
ku tahu dari kicaunya
di luar rumah ada orang
kutangkap lagi dari cakap
dan langkah kakinya
ini rumah biasa
tak beda penjara ta
di pagi kubaca di koran
kabar penangkapan-penangkapan
tapi sore ini
ku dengar di jalan
orang latihan baris-berbaris
untuk merayakan hari kemerdekaan
(22)
Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan
pagi dingin
udara masih mengandung embun
bukit-bukit di kejauhan
disaput arak-arakan halimun
matahari terbit
sempurna bulat merah setampah di langit
batang-batang pohon besar dan cabang-cabangnya
seperti ratusan penari
yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi
kususuri keheningan ini
sendiri
jilatan matahari
segarnya udara pagi
alangkah indah negri ini
andai lepas dari masa ganas tirani
(23)
nonstop 24 jam
yang berkuasa di sini
adalah cahaya
saban pagi ia membuat garis-garis lurus
di sekitar jendela
gambar motif gorden tampak jelas
coklat hitam dan putihnya
lalu pada sore hari
ia mengubah warna langit-langit
sudut-sudut tembok
bidang ubin dan susunan benda-benda
yang ada di dalamnya
dan bila malam tiba
telapak kakiku diberinya mata
demikian pula punggung tangan
dan jari-jarinya
saat aku terbaring
serasa yang ada
cuma desir angin
detak jantung
tulang-tulang
dan hembusan nafasku saja
tapi aku harus pergi
dari kesunyian ini
sebelum penguasa merenggut
aku dan damai ini
Sumber: http://www.beritasatu.com/budaya/91833-puisi-pelarian-wiji-thukul.html